
Di tengah meningkatnya kesadaran akan dampak lingkungan dari industri tekstil, kini dunia kembali menengok warisan tradisional yang justru membawa solusi: pewarna alami. Dalam dunia kriya seperti batik, tenun, sasirangan, dan beragam kriya nusantara lainnya, penggunaan pewarna dari alam menjadi alternatif yang tidak hanya estetis, tetapi juga etis dan ekologis. Pewarna alami adalah zat warna yang diperoleh dari bahan tumbuhan, hewan, atau mineral tanpa melalui proses kimia sintetis. Pewarna ini telah digunakan sejak masa lampau dan kini dihidupkan kembali sebagai bagian dari transformasi industri menuju arah yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Kategori Pewarna Alami Berdasarkan Sumbernya
Kategori |
Contoh Bahan |
Warna yang Dihasilkan |
Tumbuhan |
Daun indigo, kayu secang, kulit soga, daun jati, daun suji, akar mengkudu |
Biru, merah, cokelat, hijau, kuning |
Hewan |
Cochineal (serangga), lak (kutu lak) |
Merah, ungu |
Mineral |
Tunjung (ferro sulfat), tanah liat, batu kapur |
Hitam, cokelat, merah tua |
Meski bahan dari hewan masih digunakan secara tradisional, kini lebih disarankan untuk berfokus pada pewarna dari tumbuhan dan mineral, karena lebih lestari dan tidak melibatkan eksploitasi makhluk hidup. Setiap sumber memberi warna dan karakter unik, menjadikan karya batik, tenun, maupun jenis wastra lain seperti ecoprint, shibori, jumputan, atau sasirangan tampil lebih autentik dan penuh nilai seni.
Tidak semua pewarna alami bekerja dengan cara yang sama. Berdasarkan senyawa aktif yang dikandungnya, pewarna alami dapat dibagi menjadi 4 (empat) golongan.
Pewarna Alami Berdasarkan Senyawa Aktifnya
Golongan Senyawa |
Ciri Karakteristik |
Contoh Pewarna |
Indigoid |
Tidak larut air, perlu proses reduksi-oksidasi agar warnanya muncul |
Daun Indigo (Indigofera sp.) |
Anthraquinon |
Memberikan warna merah–cokelat yang kuat dan tahan lama |
Akar mengkudu, cochineal |
Flavonoid |
Warna kuning–cokelat dengan tampilan lembut |
Kunyit, daun jati |
Tannin |
Membentuk ikatan logam kuat dengan serat kain, hasil warna lebih tahan lama |
Kulit kayu, daun teh, kulit buah |
Meskipun Indonesia kaya akan potensi sumber daya alam. Namun, melimpahnya pewarna alam bukan alasan untuk lalai. Kemajuan industri harus seiring dengan langkah bijak menjaga lingkungan pewarna alami lebih ramah lingkungan. Berikut prinsip-prinsip pengambilan bahan baku yang tetap memperhatikan kelestarian alam:
- Daun : Ambil yang gugur alami atau dari limbah pemangkasan. Jangan ambil seluruh daun dari satu pohon agar tanaman tetap dapat tumbuh.
- Kulit kayu/kayu : Gunakan dari limbah pohon yang ditebang, bukan hasil perusakan pohon hidup, serta manfaatkan limbah kayu atau ranting yang sudah tidak termanfaatkan.
- Limbah ekstraksi : Gunakan kembali sebagai kompos, bukan dibuang atau dibakar.
Penggunaan pewarna alami dalam tekstil kerajinan kini juga didorong seiring dengan maraknya gerakan sustainability di sekitar kita, pun dalam konteks industri. Prinsip keberlanjutan mengajak pelaku industri untuk memanfaatkan bahan lokal terbarukan serta mengurangi ketergantungan pada bahan kimia sintetris yang perolehannya dari impor. Beberapa pendekatan lain terkait alasan dalam penggunaan pewarna alami adalah:
- Menghidupkan kembali kearifan lokal
- Meningkatkan nilai tambah produk kerajinan
- Memperluas pasar produk ramah lingkungan, baik domestik maupun ekspor.
Nah, sobat industri, Setelah membaca artikel ini, apakah kamu mulai terinspirasi untuk menggali dan memanfaatkan potensi pewarna alami di sekitarmu? Coba cari tahu dulu kategori pewarna yang kamu gunakan—apakah berasal dari tumbuhan, mineral, atau lainnya. Lalu pahami juga jenis senyawa aktifnya, karena dengan begitu, hasil ekstraksi warna yang kamu lakukan akan lebih efektif dan optimal.
“Pewarna alami bukan sekadar bahan, tapi bagian dari perjalanan menjaga bumi melalui karya” (DWL, 2025)
Jalan Kusumanegara No. 7, Kota Yogyakarta Daerah Istimewa Yogyakarta 55166
Telp. 0274-546111 Ext.109 | Fax. 0274-543582
E-mail:bbkb@kemenperin.go.id | Instagram : @bbspjikb_kemenperin | Whatsapp : 6282223799288